Atas ijin seorang teman, tanpa me-mention yang bersangkutan, saya
membagikan kisah ini. Teman saya berharap, ini menjadi pelajaran untuk
semua orang tua. Kisah saya tulis dengan gaya "aku".
sumber : http://www.parentingnation.in/Resources/articleimages/actual/883.jpg |
Umur 2,5
tahun, Dino (nama samaran) anakku, mulai aku sekolahkan di sebuah
sekolah unggulan. Rutinitasnya setiap pagi tidak lagi bergelayut manja
di lenganku, tapi ribet dengan urusan persiapan sekolah. Tak jarang,
Dino berangkat mandi masih terhuyung dalam kantuknya. Sering saat
berangkat ke sekolahnya di mobil dia kembali tertidur. Namun aku
mengabaikan perilaku ini, karena aku yakin suatu saat akan berubah
seiring bertambahnya umur. Dan lagi, saat bermain dengan teman -
temannya Dino terlihat gembira.
Dino termasuk anak pintar, di
umur 3.5 tahun sudah mampu berhitung angka sampai bilangan 100,
menghafal kata - kata dalam bahasa inggris, bernyanyi dalam bahasa
inggris yang memang menjadi bahasa utama di sekolahnya. Siapa orang tua
yang tidak bangga? Saat berkumpul dengan teman atau keluarga besar, Dino
selalu mengundang decak kagum. Pun, postinganku di media sosial, penuh
dengan pujian.
Tepat di usia 6 tahun 2 bulan, Dino masuk sekolah
dasar. Selain kegiatan sekolah, hari - hari Dino diisi dengan bermacam
les semua mata pelajaran, berenang, dan bermain musik.
Dino patuh sekali mengikuti jadwal yang aku buat. Pada penerimaan rapor semester pertama-nya, semakin aku dibuat kagum dengan hasilnya yang sangat baik. Apalagi saat guru-nya mengatakan bahwa Dino adalah siswa unggulan di kelasnya.
Dino patuh sekali mengikuti jadwal yang aku buat. Pada penerimaan rapor semester pertama-nya, semakin aku dibuat kagum dengan hasilnya yang sangat baik. Apalagi saat guru-nya mengatakan bahwa Dino adalah siswa unggulan di kelasnya.
Petaka dimulai saat liburan. Dino tidak mau bangun dari
tidurnya. Matanya sayu dan tidak bercahaya. Badannya lemas, tapi tidak
panas, Dino pun tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi di tubuhnya.
Singkat cerita keadaan ini berlangsung hampir 2 minggu, semua dokter
ahli bahkan profesor punya berbagai diagnosa namun selalu meleset saat
dihadapkan pada hasil test darah dan test lainnya.
Di tengah
kebingungan kami, seorang teman menyarankan membawa Dino ke seorang
psikolog. Saran yang pada awalnya membuatku emosi karena seolah - olah
menganggap Dino sebagai anak yang sakit mental. Untunglah suami saat itu
kekeuh memaksa mencoba cara ini.
Di ruang "curhat" psikolog,
Dino hanya bicara berdua saja. Kami menunggu di ruang lain. Hampir 2 jam
kami menunggu sampai akhirnya giliran kami tiba. Dino yang diijinkan
menunggu di ruangan yang sama, namun dengan jarak yang membuatnya tidak
bisa mendengar pembicaraan kami, dibuat sibuk oleh si psikolog dengan
buku warna.
Bagai guntur di siang bolong saat kami mendengar
penjelasan psikolog itu. Dino mengalami kelelahan mental, namun dia
tidak mampu mengungkapkan. Jadwal aktifitasnya yang bertubi - tubi sejak
pertama kali dia sekolah (yang berarti 3.5 tahun lalu) adalah
penyebabnya. Dino tidak menikmati aktifitasnya, tapi dia berusaha
menurut untuk menyenangkan kami (sungguh ini menusuk hati kami).
Ini adalah sebagian nasehat dari psikolog itu:
- sistem pendidikan di Indonesia, kebanyakan masih mengutamakan kecerdasan intelektual. Tidak heran di usia yang masih sangat dini, anak sudah diajari membaca, menulis dan berhitung. Sebisa mungkin carilah pra sekolah yang "hanya bersenang - senang", tanpa membebani otak anak dengan hal - hal yang belum waktunya diterima oleh otak anak. Atau kalaupun itu tidak bisa dihindari, diluar jam sekolah jangan lagi menambahi beban mental anak dengan memaksa belajar hal - hal yang belum perlu benar.
- Arahkan anak pada hal - hal yang positif namun harus tetap mengedepankan apa keinginan anak.
- Tidak membebani anak dengan tugas "kamu harus menjadi nomor satu" untuk hal apapun. Tunjukkan dan buktikan, bahwa tanpa anak menjadi nomor satu, anak tetaplah istimewa untuk orang - orang di sekitarnya.
- Tidak meng-ekspos kepandaian anak di muka umum dan di media sosial, karena itu menjadi beban besar untuk anak.
Kami pulang dan sama - sama terdiam. Air mataku meluncur tidak
tertahankan. Bagaimana bisa aku merusak mental anakku selama ini, bahkan
malah menganggap itu sebagai proses kebaikan untuknya.
Sampai di
rumah, Dino langsung masuk ke kamarnya, sementara kami berembuk,
memutuskan apa yang harus kami lakukan. Pertama yang kami lakukan malam
itu adalah meminta maaf pada Dino. Selama ini kami benar - benar
mengabaikan hak-nya. Selanjutnya kami memutuskan mengurangi dengan
sangat drastis jam - jam les Dino. Hanya mempertahankan apa yang Dino
mau yaitu les musik saja.
Tidak lama setelahnya, kami mulai
mendapatkan Dino yang sesungguhnya, Dino yang ceria, Dino yang
bersemangat. Tanpa mengikuti les pelajaran yang bejibun, nilai - nilai
Dino tetap membanggakan (padahal kami sudah bersepakat tidak akan
mempermasalahkan nilai sekolahnya apapun hasilnya).
Kunjungan ke
psikolog masih beberapa kali kami lakukan, banyak ilmu pengasuhan anak
yang kami dapatkan (dan nanti saya sampaikan di tulisan selanjutnya -
red).
Semoga kisah ini menjadi pencerahan untuk kita.